gravatar

Merajut Masa Depan, Menularkan Keahlian

Nunu dan Bai
Merajut Masa Depan, Menularkan Keahlian

RAJUTAN menjadi pilihan Nunu dan Bai untuk merajut cita-cita mereka dalam mencari penghasilan. Iseng-iseng yang akhirnya berbuah manis, rajutan bergaya etnik ternyata disukai banyak orang. Kini, mereka tak lagi harus menjual paksa produk kepada teman-temannya. Sekarang, pelanggan yang mencari karya mereka.

Taplak meja, sarung bantal kursi, tempat tisu, tutup galon, tatakan dan tutup gelas, hingga bed cover, tampak memenuhi salah satu ruang pamer di workshop Nekatun di kawasan Ledeng Bandung. Uniknya, aksesori itu terbuat dari kain katun yang dikombinasikan dengan rajutan (renda) dari benang rami. Kombinasi-kombinasi yang pas, terkesan etnik dan masuk ke berbagai gaya furnitur.

Nekatun adalah label produk hasil keroyokan, yang kini dimotori Nunu Rismayanti Idris (38) dan Siti Mariam, atau biasa dipanggil Bai (40). Awalnya, usaha ini dimulai dengan dua rekan lainnya, Dian dan Ida.

"Ide awal rajutan ini dari teman kami bernama Dian yang membawa dompet rajutan. Dompet itu menjadi inspirasi bagi kami. Membuat rajutan, selain unik, gampang, cepat, kami bisa mengerjakannya sendiri. Kami berempat teman bermain yang sering kumpul. Akhirnya terpikir, bagaimana kalau kita bikin sesuatu yang menghasilkan, kata Bai, alumnus Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) 1992.

Akhirnya, mereka memilih rajutan sebagai ciri khas produksi. "Alasannya, rajutan itu kan universal. Saat SD atau SMP, kita pernah belajar dasar-dasar menjahit dan merajut. Nenek dan ibu kita sejak dulu sudah membuat rajutan, baik itu syal, mantel, kaus kaki, topi, taplak, dsb. Kemudian kita sempat mempelajari rajutan-rajutan karya nenek kita. Selain itu, sekarang banyak buku-buku yang khusus untuk belajar merajut," ujar Bai.

Meskipun hanya dibekali teknik merajut dasar waktu sekolah dasar dan menengah, mereka memberanikan diri melanjutkan ide usaha tersebut.

"Saya awalnya hanya bisa bikin rantai, kemudian belajar bagaimana menyambungkannya. Hasilnya, seperti ini," ujar Nunu, sambil memperlihatkan taplak meja unik.

Sebenarnya, kata lulusan Fakultas Peternakan Unpad 1993 ini, ia dan teman-temannya semula kurang percaya diri membuka usaha seperti itu. Selain itu, mereka takut rugi. Oleh karena itulah, modal untuk produksi awal diusahakan sekecil-kecilnya, sehingga kalau tidak laku, ruginya tidak besar-besar amat. "Untuk membuat sampel juga kita rereongan (patungan)," kata Nunu.

Agar mereka tak terlalu rugi, empat sekawan ini jual dedet (jual-paksa) ke teman-teman dan saudara-saudaranya.

"Kemudian kita bikin sampel taplak meja dan sarung bantal kursi. Contoh tersebut ditawarkan ke galeri-galeri, ternyata banyak yang tertarik. Setelah banyak yang suka, kami mulai percaya diri dengan produk kami, barulah kami berani masuk ke tahap produksi, dengan mengumpulkan dana untuk modal produksi masing-masing Rp 750,000.00," katanya. Selama hampir setahun, mereka sempat tidak punya label.

"Pada awalnya, kita masih mencari-cari identitas, masih coba-coba berbagai variasi. Rajutan dikombinasikan dengan kain batik, rajutan dengan benang nilon yang warna-warni. Tapi, saat pameran banyak yang bertanya, `Ini dari Yogya, ya?` Mengapa setiap ada kombinasi batik, selalu identik dengan Yogya? Akhirnya, kami tidak bikin lagi yang menggunakan kombinasi batik. Benang nilon yang berwarna, ternyata peminatnya sedikit. Sekarang, kami konsentrasi pada bahan kain katun dengan kombinasi rajutan benang rami. Hal ini, karena mudah didapat di pasar lokal, tidak luntur, warnanya stabil, benangnya lebih besar dibandingkan benang nilon, dan harganya terjangkau,``ujar Bai menambahkan.

Sejumlah teman mereka membantu menjualkan karya Bai c.s. di suatu bazar. Ternyata laris manis. "Kami senang dan timbul semangat untuk produksi. Padahal, sebelumnya kami tidak ada keberanian untuk menjual. Sedangkan teman dan saudara kami sudah banyak yang beli. Suatu hari, kami ikut pameran di Hotel Panghegar, event- nya tidak besar, tetapi sejak itulah kami berani untuk mengikuti pameran di mana-mana. Pernah dalam setahun ikut pameran 13 kali, setiap ada pameran tidak pernah absen. Setelah mengikuti beberapa kali pameran, baru kami lebih selektif. Tidak semua pameran mempunyai target pasar yang bagus. Kini, pameran nasional Inacraft, setiap bulan April merupakan agenda tahunan yang tidak pernah dilewatkan. Menjelang Lebaran dan Natal biasanya banyak pesanan dari luar kota, mereka pesan produk untuk dibuat parcel," kata Nunu.

"Permintaan barang tambah banyak, sedangkan modal kita tidak besar. Kebetulan saat itu, 4 tahun lalu, kami menjadi binaan PT Bio Farma. Dengan tambahan modal Rp 10 juta (pinjaman tanpa bunga) ini, omzet kami meningkat, punya stok barang. Workshop yang tadinya satu kamar sekarang menjadi dua kamar,`` ujar Bai menambahkan, yang tidak mau menyebutkan nominal nya ini. Kini, Nekatun mengambil pinjaman lagi, setelah yang pertama lunas. Jumlah pinjaman kedua jumlahnya lebih besar dibanding sebelumnya.

Tahun 2005, Nekatun tinggal dimotori oleh dua orang, dua orang lainnya satu per satu mundur karena alasan keluarga dan pindah ke luar kota. Bai dan Nunu lebih fleksibel karena masih single.
**
Perihal pemilihan label nama produk, Nunu maupun Bai tak menyebutkan arti tertentu. "Ada yang mengartikannya dari kata nekat, ada yang mengartikan ini katun. Apa pun orang menerjemahkannya terserah saja,`` ujar Bai.

Apa pun nama produknya, yang penting Bai dan Nunu bisa membuka peluang kerja bagi orang lain. Sejak awal, mereka memang memanfaatkan tenaga ibu-ibu di lingkungan sekitar workshop. Dengan sistem borongan, hasil selama dua minggu diakumulasikan. Pembayaran honor dilakukan setiap dua minggu, tetapi ada juga yang diambil setiap bulan. Ketika "markas" Bai dan Nunu ada di Margahayu Bandung, banyak ibu-ibu dari Rancaekek mengisi waktu luangnya mengerjakan rajutan. Hampir setiap hari, ibu-ibu setor barang yang sudah jadi dan pulang membawa bahan baru untuk dikerjakan di rumah masing-masing.

"Tempat menyetor barang, juga jadi tempat pertemuan ibu-ibu. Ada yang menyelesaikan pekerjaaannya (finishing) sambil bertukar cerita, penuh canda, dan tawa," kata Nunu.

Menurut Nunu, sekitar 3 tahun lalu ketika Nekatun pindah ke kawasan Ledeng, ibu-ibu warga sekitar banyak yang sudah bekerja di pabrik, sehingga cukup sulit untuk mengajak kerja. "Tapi, dengan kesabaran Alhamdulillah, kini produk kami dikerjakan sekitar 20 orang ibu, dengan tugas masing-masing. Ada yang memotong, menjahit, menyulam, dan membuat renda. Rata-rata mereka mengantongi upah kerja Rp 250.000,00 per bulan. Kalau rajin bisa lebih," ujar Nunu.

Taplak meja besar bisa dikerjakan dalam waktu seminggu, tetapi ibu-ibu boleh mengambil pekerjaan lainnya yang kecil-kecil, seperti tatakan gelas atau lainnya sesuai dengan kemampuannya.

"Taplak meja besar yang banyak rendanya, tidak bisa dikerjakan keroyokan, karena tarikannya bisa tidak sama," kata Nunu, "Kalau ada yang salah, kami tidak segan-segan untuk membongkar dan harus diulang lagi," ujarnya menambahkan.

Kini, barang-barang produk mereka sudah masuk ke beberapa factory outlet (FO) dan galeri di Bandung. Mudah-mudahan obsesi Nunu dan Bai punya galeri sendiri tercapai.

Selain berbisnis, mereka pun memberikan kursus menyulam. ``Dulu, kami terima siapa saja dan kapan saja yang mau belajar nyulam dan merajut, tetapi 2 tahun terakhir ini kami menerima dan memberi pelajaran selama Januari. Sekarang, ada 4 orang yang sedang belajar,`` kata Nunu, yang kini mempunyai 18 orang pegawai.

Tahun ini, mereka menerapkan program untuk ibu-ibu supaya bekerja lebih giat. Caranya, dengan memberi bonus tahunan berupa uang. Mereka mencoba mengubah pola pikir masyarakat, yang tadinya mengisi waktu luang menjadi sengaja meluangkan waktu, menyisihkan waktu. "Memang agak sulit, tetapi bertahap. Ternyata, kami menjadi lebih giat dan ada peningkatan sesuai target," kata Nunu yang memiliki obsesi memiliki galeri sendiri untuk produk mereka. (Ida F. Suliztyarto)***